
MALANG NEWS – Kamis, 17 Oktober 2019, Hari ini Kota Batu telah menginjak usianya yang ke 18 tahun. Di usianya yang telah dewasa ini justru terdapat permasalahan semakin kompleks. Hal itu disebabkan implikasi dari kota agropolitan menjadi Kota Pariwisata.
Dalam konsep pembangunan, terlihat jelas dalam Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu, merupakan salah satu dokumen pembangunan yang strategis. Karena dokumen tersebut menjadi acuan bagi setiap gerak dan langkah pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat Kota Batu.
Sekitar 2 bulan yang lalu, Pemkot Batu dan DPRD telah menyepakati dokumen Ranperda RTRW tersebut. Namun, Aliansi Masyarakat Kota Batu (AMKB) menilai bahwa, RanPerda RTRW tersebut tidak pro terhadap masyarakat dan keselamatan lingkungan Kota Batu.
Berangkat dari hal itu, Aliansi Masyarakat Kota Batu (AMKB) menggelar aksi damai di sebelah selatan, alun-alun Kota Batu, Jalan Munif, pada Kamis (17/10/19) siang.
Mereka menyuarakan aspirasi terkait dengan rancangan Perda RTRW Kota Batu, yang mana pembangunan tersebut dinilai kontra terhadap lingkungan.
Menurut Aris, Kepala Bagian Lingkungan AMKB, publik menganggap bahwa urgensi Pergantian Perda RTRW itu dilakukan hanya untuk mementingkan kepentingan penguasa dan pengusaha saja.
“Karena di sisi lain ada fenomena kesenjangan pendapatan daerah antara potensi yang dimiliki Kota Batu dan realisasinya,” katanya saat tengah berorasi.
Oleh karenanya, hal itu menjadi suatu keniscayaan bagi AMKB untuk menyampaikan sejumlah catatan kritis dan evaluasi mendalam terkait dengan sejumlah persoalan di Kota Batu.
“Rencana pembangunan industri wisata secara besar-besaran. Dalam rancangan Perda RTRW Kota Batu terdapat rencana pembangunan yang kontra terhadap lingkungan. Bahwa terdapat peralihan tata ruang wilayah yang tadinya (dalam perda RTRW) peruntukannya tidak untuk pembangunan, baik industri, pariwisata, dan konstruksi lainnya, namun justru dalam ranperda RTRW diperbolehkan,” ungkap dia.
Aris juga menambahkan, misalnya, terdapat dalam Kecamatan Bumiaji (BWK 3) yang memperbolehkan adanya wisata buatan.
“Maka, secara otomatis hal ini bakal menggeser lahan pertanian. Padahal secara potensi pertanian, Kecamatan Bumiaji memiliki kesuburan tanah berjenis batuan “andosol dan kambisol” yang berkarateristik subur, yaitu 4125 ha (91 persen dari total kewilayahan),” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Bayu Prasetya, Koordinator Aliansi Masyarakat Kota Batu, terkait dengan persoalan di atas pastinya dampak yang terjadi adalah lahan pertanian akan semakin habis, termasuk pencemaran air dan debit air akan berkurang serta kerusakan lingkungan hidup akan semakin berkepanjangan.
“Tentu saja hal ini juga akan mempengaruhi lingkungan sosial masyarakat Kota Batu yang masih kental dengan suasana kekerabatan dan basis warga agraris sebagai penopang nilai menjadi masyarakat industrialis individualis. Belum lagi, rencana proyek nasional kereta gantung, geothermal, pembangunan tol Singosari-Batu yang bakal mengakibatkan permasalahan semakin runyam di Kota Batu,” ungkap dia.
Berkaca pada krisis pembangunan tersebut, AMKB menduga, muncul dugaan bahwa di balik agenda perumusan kebijakan RTRW terdapat hubungan perselingkuhan antara elite penguasa dan pengusaha di Kota Batu. Indikasi adanya kemungkinan itu diperkuat oleh beberapa bukti yang telah disebutkan diatas.
“Bahwa hampir perencanaan kebijakan daerah ditunggangi oleh kepentingan para pebisnis. Disisi lain, apabila kita melihat Change.Org : Kota Batu dalam bahaya, terdapat 3338 orang yang menolak rencana pembangunan tersebut,” ujarnya.
AMKB berpendapat bahwa:
1. Memicu besarnya konflik sosial.
2. Potensi korupsi akan marak terjadi terutama masalah perizinan.
3. Seharusnya wajib mempertahankan identitasnya sebagai kota agraris.
4. Kota Batu menjadi tidak dingin sejuk dan berubah menjadi Kota Wisata Beton.
AMKB juga menilai, bahwa realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Batu di bawah potensi dan piutang pajak yang masih belum terselesaikan hingga kini.
“Ya, itu bisa kita lihat dewasa ini marak industri pariwisata dibangun di Kota Batu, diantaranya pariwisata buatan seperti hotel, villa, homestay, karaoke, hiburan dan sebagainya. Industri pariwisata seharusnya memiliki kontribusi signifikan. Namun, jika dilihat dari PAD yang diperoleh tidak sebanding dengan keseluruhan potensi daerah yang dimiliki. Hal ini disebabkan tata kelola pemungutan pajak dan retribusi yang buruk, sehingga menyebabkan potensi daerah terjadi kebocoran atau tidak tersalurnya ke pemerintahan daerah,” beber dia.
Oleh karena itu, AMKB menegaskan, perlunya inovasi pemerintah untuk memaksimalkan potensi pajak dan retribusi di Kota Batu, tujuannya agar dapat memaksimalkan pundi-pundi ke dalam pendapatan daerah. Maka, secara otomatis tidak mungkin Kota Batu mengalami PAD yang kecil dibandingkan dana perimbangannya.
“Disisi lain, pemkot Batu diduga tidak pernah melakukan analisis potensi pendapatan daerah, baik melalui sektor pajak maupun retribusi. Ditambah lagi dengan piutang pajak yang begitu besar dan belum terselesaikan sampai detik ini. Hal itu adalah cerminan, bahwa Pemerintah Kota Batu tidak ada itikad baik atau keseriusan dalam meningkatkan pendapatan Kota Batu,” urainya.
AMKB juga menduga, bahwa piutang pajak yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Kota Batu mengandung unsur kesengajaan atau keberpihakan Pemerintah Kota Batu terhadap penunggak pajak.
Oleh karena itu, AMKB mendesak stakeholder terkait dengan permasalahan tata ruang dan wilayah dan Piutang Pajak di Kota Batu, diantaranya:
1. Mendesak Pemkot dan DPRD Batu untuk memproteksi wilayah konservasi lingkungan dalam hal ini Kecamatan Bumiaji.
2. Mendesak Pemkot Batu melakukan keterbukaan informasi terkait dengan dokumen tata ruang dan wilayah di Kota Batu.
3. Mendesak Pemerintah Kota Batu segera menyelesaikan sejumlah piutang pajak.
4. Mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur, agar menolak RanPerda RTRW Kota Batu, karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Kota Batu.
Pewarta: Eko Sabdianto
Editor: Andi Rachmanto
Publisher: Andri Priyo Utomo